Numpang di Loko

Numpang di Loko
Naik Loko BB di Dipo Ps Turi. Dibelakangnya ada loko CC putih

Rabu, 11 Mei 2011

Pertanian Dalam Kota (Urban Farming)

Menurut definisi Badan Pusat Statisik, sektor pertanian adalah salah satu sektor dari sembilan sektor lapangan usaha lainnya dalam penghitungan produk domestik regional bruto (PDRB), yang penyajiannya dibedakan dalam 9 sektor meliputi Sektor Pertanian, Sektor Pertambangan dan Penggalian, Sektor Industri Pengolahan, Sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih, Sektor Konstruksi, Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran, Sektor Angkutan dan Komunikasi, Sektor Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan, dan Sektor Jasa-jasa.

Berdasarkan definisi BPS tersebut, Sektor pertanian terdiri dari 5 subsektor meliputi Subsektor Tanaman Bahan Makanan (Tabama), Subsektor Perkebunan, Subsektor Peternakan, Subsektor Kehutanan, dan Subsektor Perikanan. Subsektor tanaman bahan makanan mencakup komoditi tanaman bahan makanan seperti padi, jagung, ketela pohon, ketela rambat, kacang tanah, kacang kedele, sayur-sayuran, buah-buahan, kentang, kacang hijau, tanaman pangan lainnya, dan hasil produk ikutannya. Termasuk pula di sini hasil dari pengolahan yang dilakukan secara sederhana oleh petani yang bersangkutan seperti beras tumbuk, gaplek, dan sagu. Termasuk dalam kategori di sini adalah usaha tanaman hias.

Subsektor perkebunan terbagi menjadi tanaman perkebunan rakyat dan tanaman perkebunan besar. Tanaman perkebunan rakyat mencakup komoditi tanaman perkebunan yang diusahakan oleh rakyat seperti jambu mete, kelapa, kopi, kapok, kapas, tebu, tembakau dan cengkeh. Cakupan tersebut termasuk produk ikutannya dan hasil-hasil pengolahan sederhana seperti minyak kelapa rakyat, tembakau olahan, kopi olahan dan teh olahan. Tanaman perkebunan besar mencakup kegiatan yang memproduksi komoditi perkebunan yang diusahakan oleh perusahaan perkebunan besar. Komoditi yang dicakup diantaranya karet, teh, kopi, kakao, minyak sawit, inti sawit, tebu, rami, serat manila dan sebagainya.

Subsektor peternakan mencakup produksi ternak besar, ternak kecil, unggas maupun hasil ternak, seperti sapi, kerbau, babi, kambing. domba, telur, susu segar, serta hasil pemotongan ternak.

Subsektor perikanan mencakup semua hasil dari kegiatan perikanan laut, perairan umum, tambak, kolam, sawah, dan keramba, serta pengolahan sederhana (pengeringan, pengasapan, dan penggaraman ikan).

Studi mengenai pertanian kota pada saat ini berkembang cukup pesat khususnya yang ada kaitannya dengan permasalahan kesehatan masyarakat, serta untuk mengantisipasi permasalahan ketahanan pangan, banjir, penurunan panas kota, efisiensi energi, kualitas udara, perubahan iklim, hilangnya habitat, dan pencegahan kejahatan (Mazeereuw, 2005)

2.2. Pertanian Dalam Kota (Urban Farming)

Urban farming adalah suatu aktivitas pertanian di dalam atau di sekitar perkotaan yang melibatkan ketrampilan, keahlian dan inovasi dalam budidaya dan pengolahan makanan. Hal utama yang menyebabkan munculnya aktivitas ini adalah upaya memberikan kontribusi pada ketahanan pangan, menambah penghasilan masyarakat sekitar juga sebagai sarana rekreasi dan hobi (Enciety, 2011).

Definisi Urban Farming sendiri menurut Balkey M dalam www.berkebun-yuuk.blogspot.com (2011) adalah Rantai industri yang memproduksi, memproses dan menjual makanan dan energi untuk memenuhi kebutuhan konsumen kota. Semua kegiatan dilakukan dengan metoda using dan re-using sumber alam dan limbah perkotaan.

Manfaat Urban farming:

a. Urban Farming memberikan kontribusi penyelamatan lingkungan dengan pengelolaan sampah Reuse dan Recycle,

b. Membantu menciptakan kota yang bersih dengan pelaksaan 3 R (reuse, reduse, recycle) untuk pengelolaan sampah kota,

c. Dapat menghasilkan O2 dan meningkatkan kualitas lingkungan kota,

d. Meningkatkan Estetika Kota,

e. Mengurangi biaya dengan penghematan biaya transportasi dan pengemasan,

f. Bahan pangan lebih segar pada saat sampai ke konsumen yang merupakan orang kota,

g. Menjadi penghasilan tambahan penduduk kota.

Model-model urban Farming :

a. Memanfaatkan lahan tidur dan lahan kritis,

b. Memanfaatkan Ruang Terbuka Hijau (Privat dan Publik),

c. Mengoptimalkan kebun sekitar rumah,

d. Menggunakan ruang (verticultur).

Menurut Mazeereuw (2005), pertanian di dalam kota mempengaruhi aspek ekonomi, kesehatan, sosial dan lingkungan kota. Dengan adanya urban farming akan ada manfaat meningkatnya kesejahteraan, keadilan, kebersamaan, kenyamanan, kualitas kehidupan, dan kelestarian lingkungan hidup. Studi tentang urban farming pada saat ini telah berkembang dalam kaitannya dengan permasalahan kesehatan masyarakat, serta untuk mengantisipasi permasalahan ketahanan pangan, banjir, penurunan panas kota, efisiensi energi, kualitas udara, perubahan iklim, hilangnya habitat, dan pencegahan kejahatan.

Definisi pertanian kota (urban farming) (Bagian Kesra pemkot Surabaya, 2010) telah berkembang dan bervariasi dalam literatur namun yang sering diacu adalah yang dikembangkan oleh Aldington (1997), FAO (1999), Mougeot (1999), Nugent (1997). Dari berbagai definisi yang dikembangkan tersebut, pertanian kota (selain urban farming juga ada yang mengistilahkan dengan Urban Agricultur) didefinisikan sebagai usaha tani, pengolahan dan distribusi dari berbagai komoditas pangan, termasuk sayuran dan peternakan di dalam atau pinggir kota di daerah perkotaan.

Ketahanan Pangan

Pada awalnya konsep ketahanan pangan dibuat dalam konteks yang sempit yaitu ketahanan pangan tidak mensyaratkan untuk melakukan swasembada produksi pangan karena tergantung pada sumberdaya yang dimiliki. Pengertian ketahanan pangan dalam lingkup sempit adalah suatu negara bisa menghasilkan kemudian mengekspor komoditas pertanian yang bernilai ekonomi tinggi dan barang-barang industri kemudian membeli komoditas pangan di pasar internasional. Sebaliknya, negara yang melakukan swasembada produksi pangan pada level nasional namun masih dijumpai masyarakatnya yang rawan pangan karena ada hambatan akses dan distribusi pangan (Stevens et al., 2000 dalam Hanani, 2010). Pengertian tersebut menunjukkan bahwa ketersediaan pangan pada level nasional tidak secara otomatis menjamin ketahanan pangan pada level individu dan rumah tangga

Sen,1981 (dalam Hanani, 2010) menunjukkan kesalahan paradigma kaum Malthusian yang beralasan bahwa ketidaktahanan pangan dan kelaparan adalah soal produksi dan ketersediaan semata. Sen mampu menunjukkan bahwa kerawanan pangan dan kelaparan justru kerap terjadi karena ketiadaan akses atas pangan (pendapatan, kesempatan kerja, sumberdaya ekonomi lainnya) bahkan ketika produksi pangan berlimpah berdasarkan pengamatan di India dan Afrika. Oleh karena itu produksi pangan bukan determinan tunggal ketahanan pangan, melainkan hanyalah salah satu faktor penentu.

Selain pengertian bentuk sempit, pada saat ini konsep ketahanan pangan sudah mengalami banyak perkembangan dan bermacam-macam pemahaman. Dari berbagai pemahaman yang ada, yang paling banyak digunakan sebagai acuan adalah definisi dari Bank Dunia (1986) dan Maxwell dan Frankenberger (1992) yakni “akses semua orang setiap saat pada pangan yang cukup untuk hidup sehat” (secure access at all times to sufficient food for a healthy life).

Berikut disajikan beberapa definisi ketahanan pangan yang sering diacu (Hanani, 2010):

i. Undang-Undang Pangan No.7 Tahun 1996: kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.

ii. USAID (1992): kondisi ketika semua orang pada setiap saat mempunyai akses secara fisik dan ekonomi untuk memperoleh kebutuhan konsumsinya untuk hidup sehat dan produktif.

iii. FAO (1997): situasi dimana semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dimana rumah tangga tidak beresiko mengalami kehilangan kedua akses tersebut.

iv. Mercy Corps (2007): keadaan ketika semua orang pada setiap saat mempunyai akses fisik, sosial, dan ekonomi terhadap terhadap kecukupan pangan, aman dan bergizi untuk pemenuhan gizi sesuai dengan seleranya untuk hidup produktif dan sehat.

2.4. Penelitian Sebelumnya

Penelitian yang dilakukan oleh Bagian Kesejahteraan Rakyat Pemerintah Kota Surabaya (2010) berjudul Evaluasi Pelaksanaan Urban Farming dapat dibuat kesimpulan yaitu secara umum pelaksanaan urban farming bermanfaat bagi masyarakat yang mencapai 71,4% masyarakat yang merasakan manfaat urban farming. Tingkat keberhasilan juga ditandai dengan keberhasilan panen yang mencapai 64,7% dengan pemanfaatan 38,3% dikonsumsi sendiri, 2,3% dijual, serta kombinasi dijual dan dikonsumsi sendiri mencapai 38,3% dengan rata-rata waktu perawatan 3-4 bulan. Meski urban farming tidak ditujukan untuk produksi masal namun dari program tersebut telah menghasilkan/memberi tambahan pendapatan rata-rata >Rp. 90.000 (26,3%) dan rata-rata tambahan pendapatan

Penelitian Nuhfil Hanani AR yang berjudul Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota (2010) menunjukkan bahwa di Amerika pertanian kota mempunyai peranan dalam pengurangan kemiskinan, kerawanan pangan dan mengatasi permasalahan sampah. Pertanian kota dapat menjamin ketersediaan pangan yang segar dan bergizi, sehingga meningkan asupan sayuran dan buah dan dapat menghemat pengeluaran 15-30 persen anggaran pada pangan. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan penduduk dan meningkatnya urbanisasi merupakan tantangan pada masa mendatang. Oleh karena itu, pertanian kota di Indonesia perlu dipikirkan untuk dikembangkan dalam rangka mengantisipasi permasalahan kesehatan masyarakat, ketahanan pangan, banjir, penurunan panas kota, efisiensi energi, kualitas udara, perubahan iklim, hilangnya habitat, dan pencegahan kejahatan.

Penelitian oleh Dr. Jaegopal Hutapea dan Ali Zum Mashar, SP dengan judul Ketahanan Pangan dan Teknologi Produktivitas Menuju Kemandirian Pertanian Indonesia dapat disimpulkan :

a. Laju pertumbuhan produksi pangan nasional dalam dasa warsa terakhir rata-rata cenderung terus menurun sedangkan laju pertumbuhan jumlah penduduk terus meningkat yang berarti semakin meningkat ketergantungan pangan nasional pada impor merupakan bahaya laten bagi kemandirian dan ketahanan pangan nasional.

b. Produksi pangan yang terus menurun lebih disebabkan karena: produktivitas hasil budidaya petani rata-rata masih rendah dan perluasan areal lahan pertanian stagnan serta lahan yang ada cenderung menurun kualitasnya sehingga perlu upaya mengatasi permasalahan tersebut dengan terobosan yang konstruktif dalam produktivitas dan perluasan lahan.

Upaya memacu pertumbuhan produksi pangan dengan membuka areal Lahan pertanian baru yang dapat di gunakan untuk pertanian produktif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar