PENGEMBANGAN ANGKUTAN KA DI SURABAYA
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, pembangunan kota selalu dibarengi dengan pembangunan jaringan kereta api (KA), entah itu berupa trem listrik ataupun kereta uap. Ini dapat kita telusuri pada beberapa kota seperti Jakarta, Semarang dan Surabaya. Tidak hanya kota-kota besar, kota-kota kecil pun hampir seluruhnya dihubungkan dengan rel KA. Tidak heran apabila pada tempo dulu panjang jaringan KA di Jawa mencapai lebih dari 6000 km. Bandingkan dengan kondisi saat ini yang hanya tersisa sekitar 2000 km yang beroperasi.
Di antara kota-kota di Indonesia, hanya Jakarta dan Surabaya yang memiliki jaringan rel terbesar dan terlengkap. Kota Surabaya memiliki fasilitas angkutan KA baik kereta listrik maupun uap. Keberadaan jaringan KA di kota ini juga didukung oleh infrastruktur penunjang yang masih berfungsi sampai saat ini. Pertama, jaringan rel yang tersebar di segala penjuru kota; kedua, emplasemen setasiun terluas di Sidotopo yang memiliki rel hingga 18 jalur; ketiga, jalan layang kereta api yang cukup panjang dari pelabuhan Tanjung Perak menuju Sidotopo; keempat, bengkel besar kereta di Gubeng serta kelima, komplek perumahan pegawai yang luas di Pacar Keling. Tidak ketinggalan viaduct di atas Jl. Ngaglik dan Jl. Sulawesi. Sayangnya jalur rel di atas viaduct Jl. Ngaglik belum sempat digarap dan tetap mangkrak sampai sekarang. Tidak ada rencana sedikitpun dari pemerintah maupun PT KAI untuk melanjutkannya.
Seiring dengan perjalanan waktu, semua keunggulan yang dimiliki kota Surabaya secara berangsur dikalahkan oleh kemajuan kota Jakarta. Di sana, pada tahun 1980-an telah dibangun jalan layang KA yang lebih panjang, membentang dari setasiun Manggarai menuju Jakarta Kota. Selain itu, pemerintah pusat juga sedang mempersiapkan pusat bengkel kereta rel listrik (KRL) terbesar di Asia Tenggara yang berlokasi di Depok. Pada saat ini, pola transportasi KRL telah menjadi tumpuan mobilitas warga Jakarta dengan jumlah penumpang lebih dari setengah juta orang per hari. Sementara di Surabaya, kereta komuter baru mulai beroperasi dengan gerbong yang memelas. Untuk urusan kereta komuter, ternyata Surabaya juga kalah dibandingkan dengan Yogyakarta. Daerah ini memiliki KA komuter Prambanan Ekspres yang melayani Yogya – Solo dengan gerbong kereta yang sangat istimewa. Baru, bersih, mengkilap; dan hebatnya lagi, kereta ini memiliki jadwal waktu berangkat dan berhenti di tiap stasiun dengan sangat tepat.
Dengan adanya perkembangan wilayah dan jumlah penduduk yang pesat di kota-kota besar, persoalan transportasi menjadi masalah utama. Warga kota memerlukan angkutan massal yang cepat dan tepat waktu guna mendukung mobilitasnya. Keinginan masyarakat ini sulit terwujud karena terhambat oleh kemacetan lalu lintas. Bahkan para pakar transportasi memperkirakan pada satu dasawarsa mendatang kota-kota seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya akan mengalami kemacetan total.
Dalam upaya mengatasi masalah kemacetan dan memenuhi kebutuhan angkutan umum, pemerintah kota Jakarta dan Bandung mulai melirik angkutan KA sebagai salah satu alternatif. Kedua kota tersebut berencana menghidupkan kembali beberapa jalur KA yang sudah lama tidak difungsikan. Di Jakarta, jalur mati menuju stasiun Tanjung Priok sedang direhabilitasi. Rencana pembangunan rel baru menuju bandara Soekarno-Hatta selesai dirancang. Keduanya siap digunakan pada 2009. Bakan, pemerintah DKI Jakarta ikut andil saham dalam pendirian PT Railink
Semua proyek pengembangan KA ini sudah barang tentu merupakan hasil koordinasi dan kerjasama antara Pemerintah pusat c.q. Departemen Perhubungan, pemerintah
Kondisi angkutan KA di Surabaya.
Dalam urusan perkereta-apian, para pejabat pemerintah kota Surabaya maupun PT KAI tampaknya masih berfikir sektoral. Masing-masing berjalan sendiri, belum ada koordinasi. Pemerintah kota masih menganggap bahwa pembangunan jaringan KA merupakan urusan PT KAI.
Yang paling memprihatinkan justru pola fikir manajemen PT KAI Daop VIII Surabaya yang hanya memikirkan pembangunan mal dan plaza di emplasemen stasiun. Seperti yang diterapkan di stasiun Surabaya Kota dan Pasar Turi. Walaupun proyek ini mungkin sesuai dengan kebijakan pimpinan pusat PT KAI untuk memanfaatkan asset perusahaan yang idle. Tapi perlu diingat bahwa kedua setasiun tersebut masih aktif dan di waktu mendatang perannya di bidang transportasi justru makin strategis. Tergantung pada PT KAI dan pemerintah daerah, punya visi atau tidak dalam masalah ini.
Yang sudah pasti, bangunan pertokoan di lahan setasiun dibangun tanpa prediksi ke depan. Sebagai contoh, terowongan rel di bawah gedung pertokoan di stasiun Pasar Turi hanya disediakan untuk satu jalur, padahal Departemen Perhubungan sebelumnya telah meminta agar disiapkan untuk dua jalur guna antisipasi pembangunan double track di masa depan.
Sudah saatnya pemerintah kota Surabaya bersama PT KAI bersatu-padu membuat rancangan angkutan massal KA dan jaringan rel yang menghubungkan Surabaya dan kota urban di sekitarnya. Kota-kota metropolis di berbagai negara juga sudah lama menjadikan KA sebagai sarana angkutan publik.
Gagasan Dinas Perhubungan Jawa Timur mengoperasikan KA komuter trayek Surabaya - Sidoarjo pp merupakan titik awal menuju mass transportation system. Rencana berikutnya, proyek angkutan KA komuter ke jurusan Lamongan, Mojokerto dan Gresik. Konsep angkutan KA komuter di wilayah Gerbang Kertosusila saat ini masih sebatas memanfaatkan jalur rel yang ada.
Seperti disebutkan, Surabaya dan Jakarta sama-sama memiliki jaringan rel cukup banyak. Perbedaannya, berbagai jurusan rel di kawasan Jakarta saling bersambung. Jalur tengah kota (Manggarai, Pasar Senen, Gambir, Tanah Abang, Tanjung Priok, Jakarta Kota) maupun arah ke luar kota (Bekasi, Bogor, Rangkas Bitung, Tangerang) saling berhubungan. Di Surabaya, jalur selatan (Wonokromo, Gubeng, Surabaya Kota) tidak dapat bersambung langsung menuju jalur utara (Pasar Turi). Oleh karena itu KA dari jalur utara (Jakarta, Semarang) tidak dapat langsung menuju jalur selatan (Malang, Banyuwangi). Penumpang KA yang turun di setasiun Pasar Turi dan mau melanjutkan perjalanannya ke arah selatan harus dioper dengan bus menuju setasiun Gubeng. Dengan kondisi jalur rel KA yang terpisah-pisah, mobilitas warga Gerbang Kertosusila lewat angkutan KA tidak berjalan sempurna. Masyarakat Sidoarjo dan Mojokerto tidak dapat naik KA secara langsung menuju Gresik dan Lamongan. Begitu pula sebaliknya.
Pengembangan jaringan rel KA.
Untunglah, walaupun tertinggal dibandingkan dengan kota lain, Surabaya tampaknya mulai punya rencana untuk mengembangkan angkutan massal KA. Pada tanggal 5 Agustus 2008, Menteri Perhubungan dan Gubernur Jawa Timur telah menandatangani MOU di setasiun Gubeng dalam rangka mengembangkan angkutan KA di Gerbang Kertosusila. Mudah-mudahan rencana ini tidak lagi sekadar wacana. Seperti halnya pengalaman beberapa tahun lalu, pernah muncul gagasan membangun monorail tapi tidak jelas kelanjutannya.
Kita tidak tahu persis bagaimana bentuk program pengembangan jaringan KA di wilayah ini seperti yang tertuang di MOU tersebut. Tapi yang jelas, pemerintah telah mengalokasikan dana tahap pertama sebesar Rp. 4,176 trilyun dan tahap kedua sebesar Rp.13,212 trilyun. Proyek akan dimulai tahun 2009. Dari beberapa media diperoleh berita bahwa seluruh jaringan rel yang ada, mulai Surabaya ke beberapa kota sekitar seperti Sidoarjo, Mojokerto, Gresik dan Lamongan, akan dibuat jalur ganda. Tidak diberitakan pembuatan jalur baru kecuali rehabilitasi rel antara Sidoarjo – Tarik yang sudah lama mati dan rencana pembuatan jalur KA menuju Bandara Juanda.
Sebenarnya jaringan rel di kota Surabaya sangat memungkinkan untuk dikembangkan. Begitu pula pembuatan jalur baru. Semua pembangunan jalur KA diharapkan dapat terintegrasi dengan fasilitas angkutan lain.
Dengan memperhatikan jalur rel yang sudah ada dan rencana pengembangan wilayah Surabaya dan sekitarnya, disini diusulkan beberapa pola pembangunan jalur KA, seperti:
a. Melanjutkan rute jalan layang KA dari viaduct Jl. Kapasari menuju setasiun Gubeng lewat viaduct di Jl. Ngaglik. Memang proyek ini akan menggusur banyak bangunan di sana. Namun hal ini bukanlah menjadi masalah. Bukankah proyek pembangunan beberapa jalan arteri juga menggusur bangunan dan semuanya dapat diselesaikan. Bila jalan layang ini jadi, KA dari Tanjung Perak maupun Pasar Turi yang akan menuju Gubeng tidak perlu lagi memutar lewat Sidotopo.
b. Menghidupkan jalur KA dari setasiun Kalimas menuju pelabuhan penumpang Gapura Surya di Tanjung Perak dan pelabuhan penyeberangan Ujung. Kondisi rel saat ini terkubur tanah dan bangunan liar. Jalur ini dulu berada di depan bangunan pergudangan sepanjang Jl. Kalianget. Bila di pelabuhan Tanjung Perak/Ujung dibangun setasiun KA, masyarakat yang turun dari kapal dapat melanjutkan perjalanan dengan KA komuter menuju setasiun Gubeng dan Pasarturi.
c. Membangun jalur rel baru dari Sidotopo menuju kaki jembatan Suramadu sisi Surabaya. Dalam kerangka pembangunan jembatan Suramadu, pemerintah merencanakan pengembangan areal di sekitar kaki jembatan untuk kawasan industri, perdagangan, terminal dan perumahan. Patut disayangkan bahwa rencana tersebut tidak mencakup pembuatan rel untuk menghubungkan kawasan tersebut. Akan lebih lengkap apabila rencana pembangunan terminal angkutan umum di kawasan baru nanti diintegrasikan dengan angkutan KA.
d. Beberapa tahun lalu pernah dioperasikan KA komuter Pasar Turi – Gresik. Komuter ini tidak berjalan lama karena sepi penumpang. Hal ini disebabkan stasiun pemberhentian dan pemberangkatan di Gresik berada di setasiun Indro yang kurang strategis. Letak stasiun ini berada di pinggiran timur kota Gresik yang jauh dari keramaian dan trayek angkutan umum. Agar KA ini diminati masyarakat perlu lokasi stasiun di tengah kota. Salah satu lokasi misalnya di Jl. Arif Rahman Hakim. Jalan ini berada di tengah kota dan sejajar dengan rel KA yang menuju PT Petrokimia. Jalur dan lahan rel ini milik PT Petrokimia, namun bukan merupakan kendala karena dapat dinegosiasikan.
Masih banyak alternatif yang dapat ditempuh dalam pengembangkan jalan KA di Surabaya. Pemerintah dan PT KAI jelas lebih tahu dalam hal ini. Soal anggaran biaya, pemerintah juga pasti mampu mengatasinya. Yang paling penting adalah mengubah pola fikir bahwa pembangunan infrastruktur tidak melulu angkutan jalan raya. Begitu pula cara kerja instansi yang berwenang seperti Departemen Perhubungan, pemerintah daerah, PT KAI dan fihak lain yang berkompeten, perlu diubah. Tidak lagi berjalan sendiri-sendiri. Pembangunan sarana perhubungan dirancang secara komprehensif. Konsep pembangunan angkutan umum dibuat terpadu agar melingkupi seluruh jenis angkutan baik angkutan mobil, KA, pesawat udara dan kapal laut.
Surabaya, 1 Nopember 2008.
Reza Tri Pramudita
Anggota KOMPAK (Komunitas Penggemar Angkutan Kereta api)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar